Ujian Nasional SMP 2011
Informasi Ujian Nasional SMP 2011 perlu disosialisaikan dengan cermat dan akurat. Pengelola Blog Pendidikan ini merasa berkewajiban untuk mempublikasikan informasi Ujian Nasional SMP/MTs tahun 2011 yang dijadwalkan di bulan April 2011. Silakan Anda simak informasi pentingnya!
Sebagaimana dijadwalkan resmi oleh kemdiknas bahwa UN SMP/MTs akan dilaksanakan pada 25 - 28 April 2011 dan ujian susulan 3 - 6 Mei 2011. Sementara itu, UN SD/MB/SDLB dilaksanakan pada 10 - 12 Mei 2011, sedangkan susulan pada 18 - 20 Mei 2011. Sedangkan UN SMA/MA/SMK akan dilaksanakan pada 18 - 21 April 2011 dan ujian susulan pada 25 - 28 April 2011.
Kebijakan ujian nasional SMP/MTs tahun ini (2011) agak beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, sekolah ikut berperan meluluskan siswa dalam UN. Komposisinya 60 persen hasil UN dan 40 nilai sekolah (60:40).
Dengan adanya peranan sekolah dalam kelulusan, kegelisahan orangtua terkurangi akibat tidak lulus UN. Mengapa tidak, sekolah bisa saja membuat nilai 9 atau 10 kepada siswa-siswinya. Andai ada nilai 11, niscaya sekolah pun akan melakukan hal itu karena ini terkait terhadap kredibilitas sekolah.
Boleh dikatakan, UN tahun ini, bukan sesuatu yang ‘menakutkan’ lagi. Lalu kenapa sekolah-sekolah tetap berpacu meningkatkan kualitas nilai anak-anak didiknya dengan melibatkan bimbingan belajar? Kalau sekadar lulus UN saja, itu sih gampang.
Sekolah-sekolah melibatkan bimbingan belajar, baik dalam membimbing siswa maupun try out, tujuannya agar siswa – setelah lulus UN – dapat memilih sekolah favorite (khusus untuk siswa SD dan SMP sederajat). Sedangkan untuk siswa SMA sederajat dapat memilih perguruan tinggi favorite.
Kita sepakat, pendidikan harus terus-menerus diperhatikan dan diperbaharui agar tetap dapat berfungsi sebagai agen perubahan dan pembangunan. Namun, dengan alasan untuk standarisasi mutu kelulusan dan kemudian menjadikan UN sebagai standar kelulusan, hemat penulis akan mereduksi proses pembelajaran.
Mesin pemeriksa LJK (Lembar Jawaban Komputer) yang beranama OMR (Oftical Mark Raider) hanyalah berfungsi membaca apa-apa yang dihitamkan perserta didik. Dalam pada itu, pertanyaan dengan pilihan ganda sangat besar kemungkinannya dijawab dengan tebak-tebakan saja. Jadi, jawaban-jawaban yang ada di LJK pada saat UN, sesungguhnya itu bukanlah nilai sesungguhnya (sejatinya) dari siswa.
Kemungkinan-kemungkinan manusiawi akan sangat boleh jadi berpengaruh pada jawaban-jawaban di LJK. Siswa yang cerdas di sekolah, belum tentu dapat sepenuhnya menjawab soal-soal di UN dengan baik dan benar. Ada faktor X yang tak boleh dipungkiri, seperti kesehatan, grogi atau gugup, cemas, depresi, dan lain sebagainya. Sementara itu, LJK yang terkena keringat akan menjadi rusak dan tak dapat diperiksa oleh OMR.
Tiga Pilar
Ada tiga pilar pembentukan pribadi seorang anak manusia: IQ (Intelegence Question), SQ (Spritual Question) dan EQ (Emotional Question). IQ memang memungkinkan diperiksa oleh mesin (komputer). Itu pun masih ada variabel lain yang menyebabkan akurasi penilaian tidak mutlak-mutlakan. Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda, sangat memungkinkan dijawab dengan main tebak-tebakan.
Jika hanya berpatokan kepada UN, bagaimana pula dengan nilai-nilai SQ dan EQ, yang memungkinkan dibangun lewat pendidikan agama dan humaniora. Nilai-nilai SQ dan EQ hanya diketahui oleh para guru (pendidik), bukan mesin pemeriksa LJK (Lembar Jawaban Komputer). Justru itu Undang-Undang No 20 tentang Sisdiknas Pasal 58 menyebutkan evaluasi dilakukan oleh pendidik, bukan pemerintah. Sebab, merekalah yang lebih tahu tentang kondisi IQ, SQ, EQ anak didiknya.
Lalu bagaimana dengan PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) khususnya pasal 63 ayat (1) yang menyebutkan penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pemerintah. Menurut saya, Standar Pendidikan Nasional memang harus ditentukan oleh Pemerintah, tetapi bukan standar kelulusan. Standar kelulusan, biarlah tetap diserahkan kepada pendidik (guru). Ya, tugas BAS (Badan Akreditasi Sekolah)-lah yang menilai sebuah sekolah sudah layak atau tidak mendapat akreditasi A, B, C, D atau apalah namanya.
Karena disparitas sekolah yang begitu lebar, saya menyarankan kepada BAS agar rentang akreditasi tersebut dapat pula dibuat agak beragam. Sebagai contoh, SMA Negeri 1 Medan dengan SMA Negeri 19 Medan saja pun – menurut saya – masih terdapat disparitas yang signifikan, baik guru-gurunya maupun fasilitasnya. Apalagi dengan sekolah-sekolah yang ada di pelosok dan daerah pinggiran.
Di Percut, ada sebuah sekolah negeri yang 100 persen anak didiknya tidak lulus UN tahun 2006 lalu. Pertanyaannya, apakah memang semua peserta didik di sana bodoh? Atau gurunya yang bodoh, atau apa-apa yang di-UN-kan tak pernah dipelajari, atau ada kesalahan ketika mengisi LJK, atau apa?
Sebaiknya nilai yang ditetapkan 6.00 rata-rata untuk mata pelajaran yang di-UN-kan. Artinya, kalau ada mata pelajaran yang nilainya 4, tetapi ada pula yang nilainya 8 dan yang satunya lagi 6, atau ada mata pelajaran yang nilainya 3, tetapi ada pula yang 9, dan satunya lagi 6, atau ada mata pelajaran yang nilai 3, dan ada yang 8, dan satunya lagi 7, maka si siswa dapat dikatakan lulus UN.
Sekolah-sekolah – negeri maupun swasta – yang berhasil meluluskan siswanya dalam UN dengan nilai rata-rata minimal 6, seperti yang disebutkan tadi, barulah boleh mendapat akreditasi C sampai A, misalnya. Yang hanya lulus UN dengan nilai rata-rata di bawah 6, akreditasinya F-D, misalnya.
Seyogianya standar yang ditetapkan UN tidak merupakan syarat kelulusan. Karenanya, kita menyarankan agar siswa yang tidak lulus UN, bukan berarti tidak lulus sekolah. Artinya, UN hanya sekadar pemetaan kualitas pendidikan, bukan ketentuan lulus-tidaknya dari sekolah.
Andaipun siswa memang benar-benar tak dapat dibantu kelulusannya dengan nilai yang diperoleh dari sekolah, apa salahnya kalau memang tidak lulus. Toh, dengan ketidaklulusannya, siswa mungkin akan jadi lebih baik di masa depan. Bukankah kegagalan di dalam ujian, merupakan keberhasilan yang tertunda?
Dengan demikian, nilai UN sebagaimana Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) bersama NEM (Nilai Ebtanas Murni)-nya yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, sekolah (guru-guru) tetap tidak kehilangan hak untuk menyatakan lulus-tidaknya siswa sebagaimana yang diamanatkan UU Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional).
Dengan sistem demikian, UN tidak lagi berfungsi melulus-tidakkan para siswa, melainkan sekadar pemetaan kualitas. Artinya, jika sebuah sekolah – baik negeri atau swasta – jika nilai rata-rata UN-nya rendah katakanlah 3, maka sekolah tersebut hanya pantas mendapat nilai akreditasi F, misalnya. Tugas BAS (Badan Akreditasi Sekolah)-lah memantau pelaksanaan UN sehingga terlaksana dengan baik dan benar sehingga akreditasi terhadap sekolah-sekolah tersebut tidak ditetapkan begitu saja.
Mendapat Reward
Dalam pada itu, siswa-siswi yang dapat lulus dari UN – terlebih dengan nilai yang baik pula – maka haruslah mendapat reward, apakah itu beasiswa, kemudahan-kemudahan, atau apalah yang membuat para siswa kelak berlomba-lomba untuk ikut UN.
Karena disparitas antarsekolah begitu lebar, maka kita menyarankan nilai akreditasi dibuat dari A sampai F, misalnya. Nilai akreditasi tersebut harus pula seiring dengan reward and funishment sehingga terasa manfaatnya. Sekolah-sekolah yang berakreditasi D sampai F, tidak boleh melaksanakan ujian sendiri, misalnya.
Kemudian jika siswa bersekolah di sekolah dengan akreditasi F, tidak boleh pindah ke sekolah yang akreditasinya E, apalagi yang lebih tinggi, begitu seterusnya. Maka sebuah sekolah – baik negeri atau swasta – akan berusaha terus-menerus meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya. Dengan sistem ini, akan tetaplah sekolah berfungsi sebagai pusat pembelajaran, sementara UN jalan terus.
Sebagaimana dijadwalkan resmi oleh kemdiknas bahwa UN SMP/MTs akan dilaksanakan pada 25 - 28 April 2011 dan ujian susulan 3 - 6 Mei 2011. Sementara itu, UN SD/MB/SDLB dilaksanakan pada 10 - 12 Mei 2011, sedangkan susulan pada 18 - 20 Mei 2011. Sedangkan UN SMA/MA/SMK akan dilaksanakan pada 18 - 21 April 2011 dan ujian susulan pada 25 - 28 April 2011.
Jadwal Ujian Nasional SMP 2011
Latihan Soal UN SMP / MTs
UN 2011 SMP/MTs | ||||
No | Mata Pelajaran | Soal | Waktu* | Tanggal |
1 | Bahasa Indonesia | 50 | 120 menit | 25 April 2011 |
2 | Matematika | 40 | 120 menit | 26 April 2011 |
3 | Bahasa Inggris | 50 | 120 menit | 27 April 2011 |
4 | IPA | 40 | 120 menit | 27 April 2011 |
Tujuan Pelaksanaan UN SMP/MTs 2011
Kebijakan ujian nasional SMP/MTs tahun ini (2011) agak beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, sekolah ikut berperan meluluskan siswa dalam UN. Komposisinya 60 persen hasil UN dan 40 nilai sekolah (60:40).
Dengan adanya peranan sekolah dalam kelulusan, kegelisahan orangtua terkurangi akibat tidak lulus UN. Mengapa tidak, sekolah bisa saja membuat nilai 9 atau 10 kepada siswa-siswinya. Andai ada nilai 11, niscaya sekolah pun akan melakukan hal itu karena ini terkait terhadap kredibilitas sekolah.
Boleh dikatakan, UN tahun ini, bukan sesuatu yang ‘menakutkan’ lagi. Lalu kenapa sekolah-sekolah tetap berpacu meningkatkan kualitas nilai anak-anak didiknya dengan melibatkan bimbingan belajar? Kalau sekadar lulus UN saja, itu sih gampang.
Sekolah-sekolah melibatkan bimbingan belajar, baik dalam membimbing siswa maupun try out, tujuannya agar siswa – setelah lulus UN – dapat memilih sekolah favorite (khusus untuk siswa SD dan SMP sederajat). Sedangkan untuk siswa SMA sederajat dapat memilih perguruan tinggi favorite.
Kita sepakat, pendidikan harus terus-menerus diperhatikan dan diperbaharui agar tetap dapat berfungsi sebagai agen perubahan dan pembangunan. Namun, dengan alasan untuk standarisasi mutu kelulusan dan kemudian menjadikan UN sebagai standar kelulusan, hemat penulis akan mereduksi proses pembelajaran.
Mesin pemeriksa LJK (Lembar Jawaban Komputer) yang beranama OMR (Oftical Mark Raider) hanyalah berfungsi membaca apa-apa yang dihitamkan perserta didik. Dalam pada itu, pertanyaan dengan pilihan ganda sangat besar kemungkinannya dijawab dengan tebak-tebakan saja. Jadi, jawaban-jawaban yang ada di LJK pada saat UN, sesungguhnya itu bukanlah nilai sesungguhnya (sejatinya) dari siswa.
Kemungkinan-kemungkinan manusiawi akan sangat boleh jadi berpengaruh pada jawaban-jawaban di LJK. Siswa yang cerdas di sekolah, belum tentu dapat sepenuhnya menjawab soal-soal di UN dengan baik dan benar. Ada faktor X yang tak boleh dipungkiri, seperti kesehatan, grogi atau gugup, cemas, depresi, dan lain sebagainya. Sementara itu, LJK yang terkena keringat akan menjadi rusak dan tak dapat diperiksa oleh OMR.
Tiga Pilar
Ada tiga pilar pembentukan pribadi seorang anak manusia: IQ (Intelegence Question), SQ (Spritual Question) dan EQ (Emotional Question). IQ memang memungkinkan diperiksa oleh mesin (komputer). Itu pun masih ada variabel lain yang menyebabkan akurasi penilaian tidak mutlak-mutlakan. Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda, sangat memungkinkan dijawab dengan main tebak-tebakan.
Jika hanya berpatokan kepada UN, bagaimana pula dengan nilai-nilai SQ dan EQ, yang memungkinkan dibangun lewat pendidikan agama dan humaniora. Nilai-nilai SQ dan EQ hanya diketahui oleh para guru (pendidik), bukan mesin pemeriksa LJK (Lembar Jawaban Komputer). Justru itu Undang-Undang No 20 tentang Sisdiknas Pasal 58 menyebutkan evaluasi dilakukan oleh pendidik, bukan pemerintah. Sebab, merekalah yang lebih tahu tentang kondisi IQ, SQ, EQ anak didiknya.
Lalu bagaimana dengan PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) khususnya pasal 63 ayat (1) yang menyebutkan penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pemerintah. Menurut saya, Standar Pendidikan Nasional memang harus ditentukan oleh Pemerintah, tetapi bukan standar kelulusan. Standar kelulusan, biarlah tetap diserahkan kepada pendidik (guru). Ya, tugas BAS (Badan Akreditasi Sekolah)-lah yang menilai sebuah sekolah sudah layak atau tidak mendapat akreditasi A, B, C, D atau apalah namanya.
Karena disparitas sekolah yang begitu lebar, saya menyarankan kepada BAS agar rentang akreditasi tersebut dapat pula dibuat agak beragam. Sebagai contoh, SMA Negeri 1 Medan dengan SMA Negeri 19 Medan saja pun – menurut saya – masih terdapat disparitas yang signifikan, baik guru-gurunya maupun fasilitasnya. Apalagi dengan sekolah-sekolah yang ada di pelosok dan daerah pinggiran.
Di Percut, ada sebuah sekolah negeri yang 100 persen anak didiknya tidak lulus UN tahun 2006 lalu. Pertanyaannya, apakah memang semua peserta didik di sana bodoh? Atau gurunya yang bodoh, atau apa-apa yang di-UN-kan tak pernah dipelajari, atau ada kesalahan ketika mengisi LJK, atau apa?
Sebaiknya nilai yang ditetapkan 6.00 rata-rata untuk mata pelajaran yang di-UN-kan. Artinya, kalau ada mata pelajaran yang nilainya 4, tetapi ada pula yang nilainya 8 dan yang satunya lagi 6, atau ada mata pelajaran yang nilainya 3, tetapi ada pula yang 9, dan satunya lagi 6, atau ada mata pelajaran yang nilai 3, dan ada yang 8, dan satunya lagi 7, maka si siswa dapat dikatakan lulus UN.
Sekolah-sekolah – negeri maupun swasta – yang berhasil meluluskan siswanya dalam UN dengan nilai rata-rata minimal 6, seperti yang disebutkan tadi, barulah boleh mendapat akreditasi C sampai A, misalnya. Yang hanya lulus UN dengan nilai rata-rata di bawah 6, akreditasinya F-D, misalnya.
Seyogianya standar yang ditetapkan UN tidak merupakan syarat kelulusan. Karenanya, kita menyarankan agar siswa yang tidak lulus UN, bukan berarti tidak lulus sekolah. Artinya, UN hanya sekadar pemetaan kualitas pendidikan, bukan ketentuan lulus-tidaknya dari sekolah.
Andaipun siswa memang benar-benar tak dapat dibantu kelulusannya dengan nilai yang diperoleh dari sekolah, apa salahnya kalau memang tidak lulus. Toh, dengan ketidaklulusannya, siswa mungkin akan jadi lebih baik di masa depan. Bukankah kegagalan di dalam ujian, merupakan keberhasilan yang tertunda?
Dengan demikian, nilai UN sebagaimana Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) bersama NEM (Nilai Ebtanas Murni)-nya yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, sekolah (guru-guru) tetap tidak kehilangan hak untuk menyatakan lulus-tidaknya siswa sebagaimana yang diamanatkan UU Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional).
Dengan sistem demikian, UN tidak lagi berfungsi melulus-tidakkan para siswa, melainkan sekadar pemetaan kualitas. Artinya, jika sebuah sekolah – baik negeri atau swasta – jika nilai rata-rata UN-nya rendah katakanlah 3, maka sekolah tersebut hanya pantas mendapat nilai akreditasi F, misalnya. Tugas BAS (Badan Akreditasi Sekolah)-lah memantau pelaksanaan UN sehingga terlaksana dengan baik dan benar sehingga akreditasi terhadap sekolah-sekolah tersebut tidak ditetapkan begitu saja.
Mendapat Reward
Dalam pada itu, siswa-siswi yang dapat lulus dari UN – terlebih dengan nilai yang baik pula – maka haruslah mendapat reward, apakah itu beasiswa, kemudahan-kemudahan, atau apalah yang membuat para siswa kelak berlomba-lomba untuk ikut UN.
Karena disparitas antarsekolah begitu lebar, maka kita menyarankan nilai akreditasi dibuat dari A sampai F, misalnya. Nilai akreditasi tersebut harus pula seiring dengan reward and funishment sehingga terasa manfaatnya. Sekolah-sekolah yang berakreditasi D sampai F, tidak boleh melaksanakan ujian sendiri, misalnya.
Kemudian jika siswa bersekolah di sekolah dengan akreditasi F, tidak boleh pindah ke sekolah yang akreditasinya E, apalagi yang lebih tinggi, begitu seterusnya. Maka sebuah sekolah – baik negeri atau swasta – akan berusaha terus-menerus meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya. Dengan sistem ini, akan tetaplah sekolah berfungsi sebagai pusat pembelajaran, sementara UN jalan terus.